/*-- Start Maintenance Template -- */ /*-- Akhir Maintenance Template -- */

Ads (728x90)

Dilihat 0 kali

Foto: Nurin/detikcom
JAKARTA, Sumutrealita.com - Indonesia menganut sistem criminal justice dalam penanganan terorisme. Artinya setiap kasus terorisme harus berakhir di pengadilan.

Dengan demikian, Polisi memiliki tantangan dan standar operasional (SOP) dalam berhadapan dengan pelaku teror. "90 persen penanganan kita ketika berhadapan dengan teroris, kita tidak tahu dia menggunakan senjata atau tidak, kita ada SOP, yang di Solo itu teroris ditembak jatuh, ketika jatuh Densus mendatangi dan tidak mengetahui kalau dia masih memegang senjata, kemudian Densus ditembak dari bawah dan mengenai perutnya," Setyo pada diskusi Polemik Sindo Trijaya FM di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/6/2017).

Setyo menyebut perang melawan terorisme di lapangan tidak segampang yang dibayangkan. Selain criminal justice model, ada 2 model lainnya dalam penanganan terorisme, yaitu war criminal dan internal act security. Setyo mencontohkan Malaysia yang menganut internal act security dalam penanganan terorisme akan memenjarakan 2 tahun setiap orang yang diduga pelaku teror tanpa proses pengadilan.

"Internal act security ini dipakai Malaysia, ketika seseorang dicurigai menjadi teroris atau membahayakan negara, maka dia dimasukkan ke dalam penjara selama 2 tahun tanpa pengadilan. Jika belum berubah maka akan ditambah 2 tahun lagi, masih belum lagi, maka akan ditambah lagi 2 tahun," sebut Setyo.

Indonesia sendiri menganut criminal justice karena berbasis pada hukum dan sudah meratifikasi konferensi PBB. "Artinya ketika kita mengacu pada criminal justice model, semua bermuara kepada pengadilan. Pelaksaanaan di lapangan tidak segampang apa yang kita bayangkan," imbuhnya.

(detik.com)



Post a Comment

Disqus